Senja hari itu, wanita itu duduk di
sebuah pendopo kecil didepan rumahnya. Dia sedang khusyu' melantunkan
kalam-kalam suci Ilahi. Kerudung merahnya secerah warna langit pada saat itu
yang memancarkan keeolakan cahayanya. Dia menyendiri sendiri di tempat itu.
Hanya semilir angin dan gerak-gerik ilalang yang menemaninya.
“Hafsah!”,
teriak seseorang yang mengganggu ketenangannya.
“Iya
Ibu”
“Ayo
nak sudah sore, cepat masuk ke rumah”, pinta ibu sambil mengajaknya.
“Baik
Ibu”, jawab wanita itu.
Dia
kemudian segera menyusul Ibunya dan bersama-sama kembali ke rumah. Langit perlahan
mulai menghitam ditelan gelapnya malam. Wanita itu kemudian menyiapkan dirinya
untuk menghadap sang maha Khaliq dan bermunajat kepadanya. Dibasahi tubuhnya
dengan siraman air-air suci. Ditutupinya dirinya dengan lembaran-lembaran kain
putih yang bersih nan bercahaya yang terangnya bagaikan cahaya rembulan di
malam itu. Dirinya laksana seorang dewi yang cantik ketika memakai
lembaran-lembaran kain itu. Dia bersimpuh kehadapan sang maha Khaliq yang
menandakan kerendahan dan kepatuhan dirinya kepada Dzat yang menciptakannya.
Selepas
bermunjat kepada Tuhannya, dia segera berkumpul dengan keluarganya yang
menunggu kedatangan seseorang yang mereka nantikan.
“Hafsah,
apakah dia sudah dihubungi?”, tanya sang Ayah kepadanya.
“Sudah
Ayah, dia sedang didalam perjalanan”
“Apakah
dia pergi sendiri atau dengan keluarganya?”, tanya Ibu.
“Dia
bilang, dia pergi bersama orang tuanya”
“Ya
sudah, kalau gitu Ibu kedapur dulu”
“Baik
Bu”
Setelah
diselingi kesunyian malam itu, wanita itu tiba-tiba bertanya kepada Ayahnya.
Dengan wajah yang sedikit ragu dan bingung terhadap sesutau yang akan
disampaikannya.
“Ayah”,
suara wanita itu memanggil Ayahnya.
“Iya
putriku”
“Menurut
Ayah, apakah keputusanku ini sudah tepat?”, tanya sang wanita itu dengan wajah penuh
dengan keraguan.
“Kenapa
engaku menanyakan hal itu? Apakah engkau ragu dengan keputusanmu sendiri”,
jawab sang ayah dengan penuh keheranan.
“Bukan
begitu Yah, tetapi yang saya maksud adalah apakah saya ini tepat mengambil
keputusan ini sedangkan saya belum dapat membalas jasa Ayah dan Ibu”, jawab
sang wanita.
Sang
Ayah tersenyum dan berkata “Putriku, melihatmu bahagia juga merupakan sebuah
kebahagiaan bagi kamu berdua”
Wanita
itu berkaca-kaca sambil meneteskan air mata. Dia kemudian bersimpuh dihadapan
sang Ayah.
“Ayah,
maafkanlah diriku yang selama ini hanya bisa merengek, menangis dan meminta
kepadamu. Aku hanyalah beban bagi Ayah dan Ibu”, jawab wanita itu sambil
tersedu-sedu.
Sang
Ibu yang baru saja keluar dari dapur kaget melihat putrinya menangis
tersedu-sedu.
“Ada
apa ini? Kenapa engkau menangis”, tanya Ibu.
Wanita
itu kemudian menghampiri Ibunya sambil berkata “Ibu, maafkanlah diriku ini. Aku
hanyalah beban bagimu”
Kedua
orang tua tersebut saling memandang kemudian tersenyum. Sang Ayah kemudian
memecah isak tangis wanita itu dengan perkataan lembutnya.
“Putriku,
kebahagiaan kami sebagai orang tua adalah memiliki seorang putri yang patuh dan
taat kepada orang tuanya dan juga berhasil mendidiknya menjadi wanita yang
sholehah dan bisa mengajarinya ilmu yang bermanfaat baginya kelak”, jawab sang
Ayah dengan perkataan yang bijaksana.
“Ibu
juga begitu nak. Memang, jikalau dihitung, kau tidak akan bisa membalas kasih
sayang kami kepadamu. Tetapi, dengan membuat kami bahagia bagi kami itu sudah
cukup dan bisa membayar segala kasih sayang kami kepadamu”, sambung sang Ibu.
Wanita
itu semakin terharu dengan perkataan kedua orangtuanya. Dia kemudian berusaha
menghentikan isak tangisnya sambil memenangkan hatinya. Setelah tenang isak
tangisnya, dia kemudian bertanya kepada orangtuanya.
“Ayah
Ibu, ada satu permintaan yang terakhir dariku sebelum aku lepas dari tanggung
jawab kalian. Maukah kalian memenuhi permintaanku yang terakhir tersebut?”,
pinta sang wanita.
“Iya
putriku, kami akan memenuhi permintaanmu”, jawab sang Ayah.
“Ayah
Ibu, doakanlah putrimu ini semoga diriku mendapatkan surga-Nya bersama dirinya.
Doakanlah diriku juga semoga diriku bisa mendampingi dan melayani calon suamiku”,
pinta sang anak.
Kedua
orang tua itu tersenyum dan bersama-sama mereka berdua menjawab permintaan
wanita itu.
“Iya
putriku, kami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk keluargamu kelak sampai
akhir hayat ini”
Mereka
kemudian saling berpelukan satu sama lain. Ditengah perasaan yang campur aduk,
tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki memecah suasana saat itu.
“Assalamualaikum”,
kata sang lelaki dengan suara yang halus.
Mereka
semua kemudian menjawab “Waalaikumsalam”.
Wanita
itu kemudian membuka pintu rumahnya. Betapa bahagianya dirinya melihat sang
calon imam berdiri didepannya bersama kedua orangtuanya.
“Hafsah”,
kata sang lelaki.
“Iya
Zubair”, jawab sang wanita.
Perasaan
mereka campur aduk saat itu. Ada rasa senang, malu dan lain-lainnya. Wanita itu
kemudian mengajak sang calon imam dan kedua orangtuanya masuk ke dalam untuk
bertemu dengan orangtuanya. Mereka kemudian berbicara satu sama lain sambil
membahas tentang masa depan yang akan dicapai oleh kedua insan mulia ini
kedepannya.